Dok : ikidangbang.com |
Istilah Mberot belakangan ini santer diperbincangkan baik secara lisan maupun terposting di lini masa sosial media warga Kabupaten Malang, tepatnya di Malang selatan. Pasalnya, istilah tersebut digunakan sebagai diksi untuk menunjukkan bahwa akan dilaksanakannya pergelaran kesenian tradisional bantengan. Namun yang membedakan, jikalau biasanya Bantengan diiringi dengan musik tradisional yang dimainkan secara langsung oleh pengrawit, dalam kegiatan Mbreot ini iringan musik digantikan dengan musik digital, mengusung lagu-lagu populer dengan aransemen nuansa musik yang tetap khas bantengan.
Sejarah Singkat Kesenian Tradisional Bantengan
Kesenian tradisional Bentengan adalah salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Jawa Timur. Bantengan merupakan warisan budaya yang telah ada sejak zaman dahulu dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat setempat. Diyakini kesenian tradisional Bantengan ini sudah ada sejak era kerajaan Singosari yakni pada masa Ken Arok berkuasa, kala itu sudah ada tradisi pencak silat yang didalamnya melibatkan kuda dan banteng.Bukti pendukung juga terdapat pada relief Candi Jago, sebuah candi peninggalan kerajaan Singosari yang berada di daerah Tumpang, Kabupaten Malang. Meski tidak menggambarkan secara langsung, pada relief candi tersebut memperlihatkan pertarungan antara binatang banteng dan harimau atau macan. Dikutip dari laman Cagar Budaya Jawa Timur yang dijelaskan oleh Sejarawan Bapak Dwi Cahyono, Relief pada Candi Jago tersebut merupakan bagian dari bingkai cerita Tantri Kamandaka atau Pancatantra yakni tentang pertarungan banteng melawan harimau. Yang lebih menarik lagi, bila kita cermati pada Gunungan Wayang Kulit, motif banteng juga muncul. Banteng kerap diartikan juga sebagai kemakmuran.
Filosofi Kesenian Tradisional Bantengan
Menurut Desprianto R.D Bantengan adalah seni pertunjukan yang mengkombinasikan sendratari dengan pencak silat, adu kesaktian, musik, dan mantra. Para pemain kesenian Bantengan umumnya mengenakan tiga kostum yang menyimbolkan binatang yakni ; banteng, macan, dan monyet. Penggunaan simbol-simbol tersebut memiliki sarat makna yakni untuk mengkomunikasikan sebuah pesan moral kepada para penikmat seni bantengan tradisional itu. Makna yang ingin disampaikan adalah terkait dengan sifat kebaikan dalam kehidupan ini sudah pasti akan mengalahkan sifat kejahatan atau kebathilan. Dalam hal ini, Banteng dimunculkan sebagai simbol kebaikan, sementara simbol penjajah, kejahatan dan angkara murka diwakili oleh macan dan simbol monyet mewakili sifat pemecah belah, licik, provokator dan antek-antek penjajah.Sumber ; Detikcom |
Fenomena Kerasukan Roh (Dhanyangan)
Fenomena kerasukan roh atau trance dalam pertunjukan kesenian tradisional seperti Bantengan seringkali terkait dengan kepercayaan spiritual dan tradisi mistis dalam masyarakat. Meskipun penjelasan bisa bervariasi tergantung pada konteks budaya dan kepercayaan setempat, berikut adalah beberapa alasan umum mengapa para pemain dalam kesenian tradisional Bantengan mungkin mengalami kerasukan atau trance:1. Upacara Keagamaan dan Spiritualitas
Banyak kesenian tradisional, termasuk Bantengan, memiliki akar dalam upacara keagamaan atau spiritualitas. Dalam beberapa konteks, para pemain mungkin meyakini bahwa mereka dapat menjadi perantara antara dunia manusia dan roh-roh atau kekuatan spiritual tertentu. Kerasukan roh dianggap sebagai bentuk komunikasi dengan dunia spiritual.2. Manifestasi Energi dan Kekuatan Gaib
Kerasukan roh dalam konteks kesenian tradisional juga dapat dianggap sebagai manifestasi dari energi atau kekuatan gaib yang memberikan kekuatan ekstra pada para pemain. Dalam kondisi trance, pemain dianggap memiliki akses lebih besar ke kekuatan supranatural, yang dapat memperkuat pertunjukan mereka.
3.Penyembuhan dan Perlindungan
Dalam beberapa tradisi, kerasukan roh dianggap sebagai bentuk perlindungan atau penyembuhan. Para pemain mungkin percaya bahwa mereka mendapatkan kekuatan roh atau entitas spiritual untuk melindungi mereka dari bahaya atau untuk memberikan keberkahan pada masyarakat.
4. Ekspresi Seni dan Kreativitas
Kondisi trance juga dapat dianggap sebagai cara untuk meningkatkan ekspresi seni dan kreativitas. Dalam keadaan seperti itu, para pemain dapat lebih bebas mengekspresikan karakter atau energi yang terkait dengan pertunjukan mereka.
5. Warisan Budaya dan Tradisi Mistis
Beberapa komunitas memandang kerasukan roh sebagai bagian dari warisan budaya dan tradisi mistis yang harus dijaga dan diteruskan. Fenomena ini mungkin dianggap sebagai cara untuk menjaga keaslian dan keotentikan kesenian tradisional.
Penting untuk diingat bahwa kerasukan roh atau trance dalam konteks kesenian tradisional tidak selalu diartikan secara serius oleh semua orang dalam masyarakat tersebut. Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai unsur ritual atau pertunjukan, sementara yang lain mungkin memiliki keyakinan mendalam terkait dengan pengalaman spiritual para pemain.
Sumber ; Kemdikbud |
Properti Bantengan Dominan Warna Merah dan Hitam
Warna hitam dan merah dalam kesenian tradisional Bantengan seringkali memiliki makna simbolis dan spiritual yang mendalam. Pilihan warna ini tidak hanya untuk tujuan estetika, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan tradisi masyarakat setempat. Berikut beberapa alasan mengapa kesenian Bantengan identik dengan warna hitam dan merah:1. Simbolisme Spiritual:
Warna hitam dan merah sering kali memiliki konotasi spiritual dalam banyak tradisi kepercayaan di Indonesia. Hitam sering dihubungkan dengan kekuatan gaib atau dunia roh, sementara merah sering diartikan sebagai simbol keberanian, semangat, atau kehidupan. Dengan menggabungkan kedua warna ini, pertunjukan Bantengan mungkin mencoba menciptakan atmosfer spiritual yang khusus.
2. Perlindungan dan Kekuatan:
Hitam dan merah juga bisa diartikan sebagai simbol perlindungan dan kekuatan. Pada beberapa budaya, kombinasi warna ini dianggap memiliki energi yang kuat dan dapat memberikan perlindungan terhadap kekuatan negatif atau bahaya.
3. Menggambarkan Sifat Binatang:
Warna hitam dan merah mungkin juga dipilih untuk mencerminkan sifat-sifat yang dihubungkan dengan binatang yang digambarkan dalam pertunjukan, seperti keberanian, kekuatan, atau sifat-sifat mitos tertentu.
4. Warisan Budaya:
Penggunaan warna hitam dan merah dalam kesenian Bantengan juga dapat menjadi bagian dari warisan budaya dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Warna-warna ini mungkin sudah lama menjadi bagian integral dari estetika dan makna kesenian tersebut.
5. Harmonisasi dengan Alam:
Beberapa komunitas tradisional di Indonesia meyakini bahwa penggunaan warna-warna tertentu dapat menciptakan harmoni dengan alam atau dunia roh. Warna hitam dan merah mungkin dipilih karena diyakini dapat menyatukan kesenian Bantengan dengan alam dan kekuatan spiritual yang ada di sekitarnya.
Penting untuk diingat bahwa makna warna dalam konteks kesenian tradisional bisa bervariasi di setiap komunitas lokal. Penggunaan warna hitam dan merah dalam Bantengan tidak bersifat universal dan dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda.
This page will refresh every 10 seconds.
0 Komentar